BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kepemimpinan
Seperti diketahui keberhasilan sebuah organisasi tergantung oleh beberapa faktor. Diantara faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau tercapainya tujuan organisasi adalah kinerja para pemimpinnya. Mereka yang dapat mengkombinasikan kualitas kepemimpinan dengan kekuatan yang ada dalam posisinya untuk menciptakan pengaruh yang kuat kepada bawahannya dan koleganya dipandang sebagai pemimpin yang baik.
Dari semua fungsi manajemen, kepemimpinan atau leadership melibatkan atasan yang berhubungan langsung dengan bawahannya. Dengan demikian memimpin merupakan bagian sentral dari peran kepala sekolah, dalam bekerja bersama-sama untuk mencapai visi, misi dan tujuan sekolah.
Kemampuan memimpin yaitu kemampuan seorang kepala sekolah dalam memotivasi, mempengaruhi, mengarahkan, dan berkomunikasi dengan bawahan. Seseorang yang mempunyai posisi sebagai pemimpin dalam suatu organisasi mengemban tugas untuk melaksanakan kepemimpinan. Dengan kata lain pemimpin adalah orangnya dan kepemimpinan atau leadership adalah kegiatannya.
Ada beberapa pengertian kepemimpinan menurut para ahli. Menurut E. Mulyasa (2005 :107) kepemimpinan diartikan sebagai kegiatan untuk mempengaruhi orang-orang yang diarahkan terhadap tercapainya tujuan organisasi.
Sedangkan kepemimpinan menurut Hasibuan (2001:167) adalah :
“Kepemimpinan adalah cara seorang pemimpin mempengaruhi perilaku bawahan, agar mau bekerja sama dan bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan organisasi”.
Amirullah (2004:245) mendefinisikan kepemimpinan sebagai hubungan dimana seseorang (pemimpin) mempengaruhi orang lain untuk mau bekerja sama melaksanakan tugas-tugas yang saling berkaitan guna mencapai tujuan yang diinginkan pemimpin dan atau kelompok. Definisi tersebut menekankan pada permasalahan hubungan antara orang yang mempengaruhi (pemimpin) dengan orang yang dipengaruhi (bawahan).
Dari beberapa definisi yang telah disebutkan, penulis dapat memberi kesimpulan bahwa kepemimpinan merupakan orang yang memiliki kewenangan untuk memberi tugas, mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi orang lain melalui pola hubungan yang baik guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Kepemimpinan dalam konteks struktural tidak hanya terikat pada bidang atau sub bidang yang menjadi garapannya, tetapi juga oleh rumusan tujuan dan program pencapaiannya yang telah ditetapkan oleh pemimpin yang lebih tinggi posisinya. Setiap anggota harus melaksanakannya tanpa menyimpang. Sehingga dalam hal ini kepemimpinan diartikan sebagai proses pemberian motivasi agar orang-orang yang dipimpin melakukan kegiatan atau pekerjaan sesuai dengan program yang telah ditetapkan. Kepemimpinan juga berarti usaha mengarahkan, membimbing dan mempengaruhi orang lain, agar pikiran dan kegiatannya tidak menyimpang dari tugas pokoknya masing-masing. Dalam keadaan seperti ini inisiatif dan kreativitas tidak menyentuh tujuan dan program organisasi, dan jika masih diijinkan, sentuhannya hanya berkenaan dengan cara melaksanakan program agar tujuan lebih mudah dicapai. Inisiatif dan kreativitas tersebut tetap akan sulit dilakukan bilamana pimpinan unit tidak memiliki atau tidak mendapat pelimpahan wewenang. Dengan kata lain kepemimpinan dalam kontek struktural tidak dapat melepaskan diri dari sifat birokratis, meskipun tidak seluruhnya bersifat negatif. Sifat birokratis itu berarti pemimpin dalam melaksanakan program atau cara bekerja berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan yang saling tidak boleh melampaui wewenang dan tanggung jawab masing-masing. Birokrasi yang terlalu ketat akan mengakibatkan kepemimpinan kurang berfungsi, karena fungsi pengambilan keputusan tidak dapat dilaksanakan secara cepat. Setiap keputusan pimpinan yang lebih rendah, bukan saja harus sejalan dengan kebijaksanaan dan keputusan pimpinan yang lebih tinggi, tetapi juga sering terjadi pengambilan keputusan harus disetujui lebih dahulu oleh pimpinan atasan.
Kepemimpinan dalam konteks non-struktural dapat diartikan sebagai proses mempengaruhi pikiran, perasaan, tingkah laku, dan mengarahkan semua fasilitas untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan secara bersama-sama pula. Dalam konteks non-struktural ini sebab-sebab seseorang dipilih, dipercaya dan diangkat menjadi pemimpin karena memiliki kelebihan dalam aspek-aspek kepribadiannya. Kelebihan itu menimbulkan kepercayaan dan kesediaan mengikuti petunjuk, bimbingan dan pengarahnnya. Kelebihan itu mungkin berupa kemampuan intektual yang ditampilkan dalam wawasan yang luas, kemampuan menyelesaikan masalah dan lain-lain. Di samping itu mungkin berupa kesederhanaan, kejujuran, keterbukaan, dedikasi dan loyalitas, kepeloporan dan lain-lain. Dalam kepemimpinan ini hubungan antara pemimpin dengan orang-orang yang dipimpinnya lebih longgar. Hubungan yang longgar itu disebabkan karena pemimpin berasal dari anggota kelompok yang sebelumnya merupakan orang-orang yang senasib dan sepenanggungan. Pemimpin tidak hanya mampu menghayati tugas-tugas yang harus dikerjakan anggota kelompok/organisasinya, tetapi juga menghayati kepentingan/kebutuhan dan masalah-masalahnya. Oleh karena itu setiap keputusannya selalu diorientasikan pada kebersamaan dengan anggota, dan bukan untuk melindingi posisinya (jabatannya) sebagai pemimpin. Dengan jiwa kebersamaan itulah yang menjadi faktor yang memudahkan pemimpin menggerakkan orang-orang yang dipimpinnya, sebagai perwujudan kepemimpinan yang efektif.
Amirullah (2004:269) memberi indikator kepemimpinan efektif yaitu dengan melihat dari hasil kinerja yang diperoleh selama tugas kepemimpinannya, baik secara kualitas maupun kuntitas. Salah satu pendekatan yang dianggap tepat dalam melihat indikator kepemimpinan yang efektif adalah dengan melihat peran-peran yang dimainkan oleh seorang pemimpin. Apabila pemimpin itu telah melaksanakan tugas sesuai dengan peran dan fungsinya, maka pemimpin itu dikatakan sudah efektif. Sebaliknya, pemimpin yang belum melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan peranannya, maka pemimpin itu masih belum bisa dikatakan sebagai pemimpin yang efektif. Adapun peran-peran dari seorang pemimpin yang efektif adalah :
(1) sebagai figur (figurehead); (2) sebagai pemimpin (leader); (3) sebagai penghubung (liasion); (4) sebagai pengamat (monitoring); (5) sebagai pembagi informasi (disseminator); (6) sebagai juru bicara (spokesperson) dan (7) sebagai wirausaha (enterpreneur).
B. Pendekatan sifat-sifat kepemimpinan dan perilaku kepemimpinan.
1. Pendekatan sifat-sifat kepemimpinan
Untuk memperoleh kemampuan dalam dalam kepemimpinan diperlukan sejumlah sifat-sifat yang baik dan tepat, tetapi untuk sejumlah sifat-sifat tersebut tidaklah cukup untuk memperoleh predikat pemimpin. Karena sifat-sifat itu harus diterapkan dalam praktek pada waktu dan situasi yang tepat pula. Disamping itu diperlukan pula adanya bawahan atau sekelompok orang yang mencari kepemimpinannya. Sifat-sifat kepemimpinan itu mencangkup : pengetahuan, kecerdasan, imanjinasi, kepercayaan diri, integrasi, kepandaian berbicara, pengendalian dan keseimbangan mental dan emosional, pergaulan sosial dan persahabatan, dorongan, antusiasme dan keberanian.
2. Pendekatan perilaku kepemimpinan
Pendekatan perilaku tidak mencoba untuk mencari jawaban sifat-sifat pemimpin, tetapi akan mencoba untuk menentukan apa yang dilakukan oleh para pemimpin efektif, bagaimana mereka mendelegasikan tugas, bagaimana mereka berkomunikasi dan memotivasi bawahan mereka, bagaimana mereka menjalankan tugas. Tidak seperti pendekatan sifat, pendekatan perilaku dapat dipelajari atau dikembangkan sehingga individu-individu dapat dilatih dengan perilaku kepemimpinan yang tepat agar mampu memimpin dengan efektif.
Pendekatan perilaku memusatkan perhatiannya pada dua aspek perilaku kepemimpinan yaitu :
a. Fungsi Kepemimpinan
Kepemimpinan yang efektif hanya dapat terwujud apabila dijalankan sesuai dengan fungsinya. Fungsi pemimpin ini berhubungan langsung dengan situasi sosial dalam kehidupan kelompok atau organisasi masing-masing yang mengisyaratkan bahwa setiap pemimpin berada di dalam dan bukan di luar situasi itu. Pemimpin harus berusaha agar menjadi bagian di dalam situasi sosial kelompok/organisasinya.
Pemimpin yang membuat keputusan dengan memperhatikan situasi sosial kelompok/organisasinya, akan dirasakan sebagai keputusan bersama yang menjadi tanggung jawab bersama pula dalam melaksanakannya. Dengan demikian akan terbuka peluang bagi pemimpin untuk mewujudkan fungsi-fungsi kepemimpinan sejalan dengan situasi sosial yang dikembangkannya. Fungsi kepemimpinan itu memiliki dua dimensi sebagai berikut :
1. Dimensi yang berkenaan dengan tingkat kemampuan mengarahkan (direction) dalam tindakan atau aktivitas pemimpin, yang terlihat pada tanggapan orang-orang yang dipimpinnya.
2. Dimensi yang berkenaan dengan tingkat dukungan (support) atau keterlibatan orang-orang yang dipimpin dalam melaksanakan tugas tugas pokok kelompok/organisasi, yang dijabarkan dan dimanifestasikan melalui keputusan-keputusan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemimpin.
Berdasarkan kedua dimensi itu, selanjutnya secara operasional dapat dibedakan lima fungsi pokok kepemimpinan. Lima fungsi kepemimpinan tersebut adalah :
- Fungsi Instruktif
Pemimpin sebagai pengambil keputusan berfungsi memerintahkan pelaksanaannya pada orang-orang yang dipimpin. Pemimpin sebagai komunikator merupakan pihak yang menentukan apa (isi perintah), bagaimana (cara mengerjakan perintah), kapan (waktu memulai, melaksanakan dan melaporkan hasilnya), dan dimana (tempat mengerjakan perintah) agar keputusan dapat diwujudkan secara efektif.
- Fungsi Konsultatif
Pemimpin kerapkali memerlukan bahan pertimbangan yang mengharuskannya berkonsultasi dengan orang-orang yang dipimpinnya. Konsultasi dapat pula dilakukan melalui arus sebaliknya, yakni dari orang-orang yang dipimpin kepada pemimpin yang menetapkan keputusan dan memerintahkan pelaksanannya. Hal ini berarti fungsi ini berlangsung dan bersifat komunikasi dua arah, meskipun pelaksanaannya sangat tergantung pada pihak pemimpin.
- Fungsi Partisipasi
Fungsi ini berarti kesediaan pemimpin untuk tidak berpangku tangan pada saat-saat orang yang dipimpin melaksanakan keputusannya. Pemimpin tidak boleh sekedar mampu membuat keputusan dan memerintahkan pelaksanaannya, tetapi juga ikut dalam proses pelaksanaannya, dalam batas-batas tidak menggeser dan mengganti petugas yang bertanggung jawab melaksanakannya.
- Fungsi Delegasi
Fungsi ini mengharuskan pemimpin memilah-milah tugas pokok organisasinya dan mengevaluasi yang dapat dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang-orang yang dipercayainya. Fungsi delegasi pada dasarnya berarti kepercayaan. Pemimpin harus bersedia dan dan dapat mempercayai orang lain sesuai dengan posisi/jabatannya.
- Fungsi Pengendalian
Pemimpin mampu mengatur aktivitas anggotanya secara terarah dan dalam koordinasi yang efektif, sehingga memungkinkan tercapainya tujuan bersama secara maksimal.
b. Gaya kepemimpinan
Pandangan kedua tentang perilaku kepemimpinan ini memusatkan pada gaya kepemimpinan dalam hubungannya dengan bawahan. Menurut Nasution (2004:199) Gaya Kepemimpinan adalah suatu cara yang digunakan pemimpin dalam berinteraksi dengan bawahannya. Gaya kepemimpinan ini pada gilirannya ternyata merupakan dasar dalam membeda-bedakan atau mengklasifikasikan tipe kepemimpinan.
Gaya kepemimpinan memiliki tiga pola dasar, yaitu :
1. Gaya kepemimpinan yang berpola mementingkan pelaksanaan tugas secara efektif dan efesien, agar mampu mewujudkan tujuan secara maksimal.
2. Gaya kepemimpinan yang berpola mementingkan pelaksanaan hubungan kerja sama.
3. Gaya kepemimpinan yang berpola mementingkan hasil yang dapat dicapai dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi. Disini pemimpin menaruh perhatian yang besar dan memiliki keinginan yang kuat, agar setiap anggota berprestasi sebesar-besarnya.
Ketiga pola dasar perilaku kepemimpinan dalam praktik tidak berlangsung secara ekstrim terpisah-pisah. Pemisahan sebagaimana tersebut diatas dimaksudkan sebagai uraian teoritis, yang akan mengantarkan pada kategori kepemimpinan menjadi lima tipe pokok dalam kepemimpinan. Kepemimpinan yang efektif tidak mungkin terwujud dengan mempergunakan salah satu tipe kepemimpinan secara murni. Arifin (2005:15) kelima tipe pokok kepemimpinan tersebut adalah :
1. Tipe kepemimpinan otokratik
Kepemimpinan ini menempatkan kekuasaan di tangan satu orang atau sekelompok kecil orang yang diantara mereka tetap ada seseorang yang paling berkuasa. Pemimpin bertindak sebagai penguasa tunggal. Kedudukan bawahan semata-mata sebagai pelaksana keputusan, perintah dan bahkan kehendak pemimpin. Pemimpin memandang dirinya lebih dalam segala hal, dibandingkan dengan bawahannya. Perintah pemimpin tidak boleh dibantah, karena dipandang sebagai satu-satunya yang paling benar. Oleh karena itu tidak ada pilihan lain bagi bawahan selain tunduk dan patuh di bawah kekuasaan sang pemimpin. Kekuasaan pemimpin digunakan untuk menekan bawahan, dengan mempergunakan sanksi atau hukuman sebagai alat utama.
2. Tipe kepemimpinan paternalistik
Tipe kepemimpinan ini lebih mengutamakan kebersamaan. Tipe ini memperlakukan semua satuan kerja yang terdapat dalam organisasi dengan seadil dan serata mungkin.
3. Tipe kepemimpinan kharismatik
Dalam tipe ini pemimpin mempunyai kemampuan menggerakkan orang lain dengan mendayagunakan keistimewaan atau kelebihan pribadi yang dimiliki oleh pemimpin, sehingga menimbulkan rasa hormat, segan dan patuh pada orang-orang yang dipimpinnya. Adapun keistimewaan kepribadian yang umum dimiliki kepemimpinan tipe ini adalah akhlak yang terpuji.
4. Kepemimpinan bebas (Laissez Faire)
Dalam kepemimpinan ini, pemimpin berkedudukan sebagai simbol. Kepemimpinan dijalankan dengan memberikan kebebasan penuh pada orang yang dipimpin dalam mengambil keputusan dan melakukan kegiatan (berbuat) menurut kehendak dan kepentingan masing-masing, baik secara perseorangan maupun berupa kelompok-kelompok kecil. Pemimpin hanya mengfungsikan dirinya sebagai penasehat, yang dilakukan dengan memberi kesempatan untuk berkompromi atau bertanya bagi anggota kelompok yang memerlukannya. Dalam kepemimpinan ini apabila tidak ada seorangpun dari anggota kelompok atau bawahan yang mengambil inisiatif untuk menetaplan suatu keputusan maka tidak ada aktivitas/kegiatan organisasi.
5. Tipe kepemimpinan demokratis
Tipe kepemimpinan ini menempatkan manusia sebagai faktor utama dan terpenting dalam setiap kelompok/organisasi. Proses kepemimpinan diwujudkan dengan cara memberikan kesempatan yang luas bagi anggota kelompok/organisasi untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatan. Setiap angota kelompok tidak saja diberi kesempatan untuk aktif, tetapi juga dibantu dalam mengembangkan sikap dan kemampuannya memimpin. Konsisi itu memungkinkan setiap orang siap untuk dipromosikan menduduki jabatan pemimpin secara berjenjang, bilamana terjadi kekosongan karena pensiun, mutasi, meninggal dunia, atau sebab-sebab lain.
Kepemimpinan demokratis adalah kepemimpinan yang aktif, dinamis dan terarah. Kegiatan-kegiatan pengendalian dilaksanakan secara tertib dan bertanggung jawab. Pembagian tugas yang disertai pelimpahan wewenang dan tanggung jawab yang jelas memungkinkan setiap angoota berpartisipasi secara aktif. Dengan kata lain setiap anggota mengetahui secara pasti sumbangan yang dapat diberikan untuk mencapai tujuan organisasinya.
C. Kepemimpinan Kepala Sekolah
Sebagaimana sekolah dipahami sebagai suatu organisasi, kepemimpinan dan manajemen menjadi menarik untuk kaji. Sebagai suatu organisasi, sekolah memerlukan tidak hanya seorang manajer untuk mengelola sumber daya sekolah, yang lebih banyak berkonsentrasi pada permasalahan anggaran dan persoalan adminstratif lainnya, melainkan juga memerlukan pemimpin yang mampu menciptakan sebuah visi dan mengilhami staf dan semua komponen individu yang terkait dengan sekolah. Wacana ini mengimplikasikan bahwa baik pemimpin maupun manajer diperlukan dalam pengelolaan sekolah.
Berbeda dengan organisasi lain, sekolah merupakan bentuk organisasi moral, yang berbeda dengan bentuk organisasi lainnya, terutama yang berorientasi pada keuntungan (laba). Sebagai suatu organisasi, menurut Rumtini Iksan (http://www.depdiknas.go.id :2005) kesuksesannya tidak hanya ditentukan oleh kepala sekolah melainkan juga oleh tenaga kependidikan lainnya dan proses sekolah itu sendiri. Hal tersebut membawa konsekuensi logis bahwa kepala sekolah berkewajiban mengkoordinasikan ketenagaan di sekolah untuk menjamin terimplementasikannya peraturan dan perundangan sekolah. Dalam perannya tersebut, kepala sekolah dapat berfungsi sebagai motivator, direktur, dan evaluator.
Kepala sekolah adalah pemimpin pada satu lembaga satuan pendidikan. Tanpa kehadiran kepala sekolah proses pendidikan termasuk pembelajaran tidak akan berjalan efektif. Kepala sekolah adalah pemimpin yang proses keberadaannya dapat dipilih secara langsung, ditetapkan oleh yayasan, atau ditetapkan oleh pemerintah. Menurut Awaludin Hamzah (http://www.pikiran-rakyat.com: 25 Oktober 2004) Ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi kepala sekolah yaitu :
1. Aspek Akseptabilitas
Akseptabilitas adalah aspek mengandalkan dukungan riil dari komunitas yang dipimpinnya. Seorang kepala sekolah harus mendapat dukungan dari guru-guru dan karyawan lembaga yang bersangkutan sebagai komunitas formal yang dipimpinnya. Dukungan ini juga secara nonformal harus mendapat pula dari masyarakat pendidikan termasuk komite sekolah sebagai wadah organisasi orang tua/wali siswa.
Seorang kepala sekolah sah menjadi pemimpin apabila mendapat dukungan riil dari masyarakat yang dipimpinnya, hal ini untuk memudahkan kinerja tugas serta menghindarkan dari sikap apriori atau pembangkangan dari yang dipimpinnya. Sesungguhnya jika seseorang yang memimpin tidak dikehendaki oleh yang dipimpin akan menimbulkan ketidakserasian dalam pelaksanaan tugas.
Aspek akseptabilitas ini dalam teori organisasi disebut legitimasi (pengakuan) yakni kelayakan seorang pemimpin untuk diakui dan diterima keberadaannya oleh mereka yang dipimpin. Untuk mendapatkan legitimasi, sebaiknya kepala sekolah dipilih langsung oleh guru-guru.
Hanya orang yang dipilih melalui proses pemilihan seperti ini biasanya seorang pemimpin mendapat dukungan yang nyata. Tentunya melalui tahapan seleksi yang ketat tidak asal memilih. Kepemimpinan seperti ini akan memiliki legitimasi yang sangat kuat jika melalui proses pemilihan langsung yang dilaksanakan secara adil, jujur, dan transparan.
2. Aspek kapabilitas
Aspek kapabilitas menyangkut kompetensi (kemampuan) untuk menjalankan kepemimpinan. Untuk menjadi kepala sekolah tidak hanya cukup mendapat pengakuan dari guru-guru sebagai pendukungnya tapi juga harus memiliki kemampuan memimpin.
Selain itu, memiliki kemampuan dalam mengelola sumber daya yang ada dari orang-orang yang dipimpinnya agar tidak menimbulkan konflik. Kapabilitas ini sangat diperlukan bagi seorang kepala sekolah, melalui pengalaman yang cukup memadai serta pengetahuan mengenai manajemen sekolah dan pendidikan lainnya. Apabila kepala sekolah tidak memiliki kemampuan dalam mengelola dapat dipastikan lembaga yang dipimpinnya tidak akan berjalan efektif dan ada kemungkinan berantakan. Konflik biasanya muncul karena adanya berbagai kepentingan dan gagasan yang kurang terakomodasi dengan sempurna. Apabila konflik ini dikelola dengan baik serta mengakomodasi hal-hal yang secara realistis dapat dilaksanakan, akan melahirkan sebuah kesepakatan dan pemahaman yang akan terasa elok apabila dilaksanakan secara bersama dengan penuh tanggung jawab.
3. Aspek integritas
Aspek integritas adalah sebuah persyaratan yang sempurna apabila aspek akseptabilits dan kapabilitas terpenuhi. Dengan persyaratan ini seorang kepala sekolah dapat menghasilkan produk kepemimpinan yang sempurna dan diterima oleh khalayak.
Secara sederhana, integritas artinya komitmen moral dan berpegang teguh terhadap aturan main yang telah disepakati sesuai dengan peraturan dan norma yang semestinya berlaku. Faktor ini akan menentukan wibawa dan tidaknya seorang kepala sekolah.
Suatu penghargaan akan diberikan terhadap seorang pemimpin apabila memegang teguh janjinya serta komitmennya terhadap sesuatu yang telah disepakatinya. Jadi, integritas adalah menyangkut konsistensi dalam memegang teguh aturan main atau norma-norma yang berlaku di dunia pendidikan.
Selain tiga persyaratan tersebut, kepala sekolah sebagai seorang manajer di lembaga pendidikan juga harus memiliki tiga kecerdasan pokok, yaitu : kecerdasan profesional, kecerdasan personal dan kecerdasan manajerial agar dapat bekerja sama dan mengerjakan sesuatu dengan orang lain. Rosyada (2004:240-242) mengklasifikasikan kemampuan manajerial yang harus dipertimbangkan sebagai langkah awal mengerjakan berbagai tugas manajerial, yaitu :
1. Kemampuan mencipta, yang meliputi : selalu mempunyai ide-ide bagus, selalu memperoleh solusi-solusi untuk berbagai problem yang biasa dihadapi, mampu mengantisipasi berbagai konsekuensi dari pelaksanaan berbagai keputusan dan mampu mempergunakan kemampuan berfikir imajinatif (lateral thingking) untuk menghubungkan sesuatu dengan yang lainnya yang tidak bisa muncul dari analisis dan pemikiran-pemikiran empirik.
2. Kemampuan membuat perencanaan, yang meliputi : mampu menghubungkan kenyataan sekarang dan hari esok, mampu mengenali apa-apa yang penting saat itu dan apa-apa yang benar-benar mendesak, mempu mengantisipasi kebutuhan-kebutuhan mendatang, dan mampu melakukan analisis.
3. Kemampuan mengorganisasi, yang meliputi : mampu mendistribusikan tugas dan tanggung jawab yang adil, mampu membuat putusan secara tepat, selalu bersikap tenang dalam menghadapi kesulitan, mampu mengenali pekerjaan itu sudah selesai dan sempurna dikerjakan.
4. Kemampuan berkomunikasi, yang meliputi : mampu memahami orang lain, mampu dan mau mendengarkan orang lain, mampu menjelaskan sesuatu pada orang lain, mampu berkomunikasi melalui tulisan, mampu membuat orang lain berbicara, mampu mengucapkan terima kasih pada orang lain , selalu mendorong orang lain untuk maju dan selalu mengikuti dan memanfaatkan tekhnologi informasi.
5. kemampuan memberi motivasi, yang meliputi : mampu memberi inspirasi pada orang lain, menyampaikan tantangan yang realistis, membantu orang lain untuk mencapai tujuan dan target, membantu orang lain untuk menilai kontribusi dan pencapaiannya sendiri.
6. Kemampuan melakukan evaluasi, yang meliputi : mampu membandingkan antara hasil yang dicapai dengan tujuan, mampu melakukan evaluasi diri, mampu melakukan evaluasi terhadap pekerjaan orang lain, dan mampu melakukan tindakan pembenaran saat diperlukan.
D. Kinerja guru
Menurut Timotius (http://www.geocities.com/guruvalah:2005) Kinerja merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, work performance atau job performance tetapi dalam bahasa Inggrisnya sering disingkat menjadi performance saja. Kinerja dalam bahasa Indonesia disebut juga prestasi kerja. Kinerja atau prestasi kerja (performance) diartikan sebagai ungkapan kemampuan yang didasari pengetahuan, sikap, ketrampilan dan motivasi dalam menghasilkan sesuatu.. Masalah kinerja selalu mendapat perhatian dalam manajemen karena sangat berkaitan dengan produktivitas lembaga atau organisasi. Faktor utama yang mempengaruhi kinerja adalah kemampuan dan kemauan. Memang diakui banyak orang mampu tetapi tidak mau sehingga tidak menghasilkan kinerja. Demikian pula halnya banyak orang mau tetapi tidak mampu juga tetap tidak menghasilkan kinerja. Kinerja adalah sesuatu uyang dicapai atau prestasi yang diperlihatkan atau kemampuan bekerja, dengan kata lainbahwa kinerja dapat diartikan sebagai prestasi kerja. Henri simamora (1997:423) menyatakan bahwa prestasi kerja (performance) diartikan sebagai suatu pencapaian persyaratan pekerjaan tertentu yang alhirnya secara langsung dapat tercermin dari output yang dihasilkan baik kuantitas maupun kualitasnya. Sedangkan Hasibuan (2001:94) mendefinisikan prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan serta waktu. Prestasi kerja merupakan gabungan dari tiga faktor penting yaitu, kemampuan dan minat seorang pekerja, kemampuan dan minat seorang pekerja, kemampuan dan penerimaan atas penjelasan delegasi tugas, serta peran dan tingkat motivasi seorang pekerja. Semakin tinggi ketiga faktor diatas, semakin besarlah prestasi kerja karyawan bersangkutan.
Dari pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa apabila seorang pegawai telah memiliki kemampuan dalam penguasaan bidang pekerjaannya, mempunyai minat untuk melakukan pekerjaan tersebut, adanya kejelasan peran dan motivasi pekerjaan yang baik, maka orang tersebut memiliki landasan yang kuat untuk berprestasi lebih baik.
Ukuran kinerja secara umum yang kemudian diterjemahkan ke dalam penilaian perilaku secara mendasar meliputi : (1) kualitas kerja; (2) kuantitas kerja; (3) pengetahuan tentang pekerjaan; (4) pendapat atau pernyataan yang disampaikan; (5) keputusan yang diambil; (6) perencanaan kerja; (7) daerah organisasi kerja.
Jadi kinerja adalah kuantitas dan kualitas yang diselesaikan oleh individu, maka kinerja merupakan output pelaksanaan tugas. Kinerja mempunyai hubungan yang erat dengan masalah produktivitas, karena merupakan indikator dalam menentukan bagaimana usaha untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi dalam suatu organisasi. Hasibuan (1999:126) menyatakan produktivitas adalah perbandingan antara keluaran (output) dengan masukan (input). Adapun Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja menurut Sedarmayanti (http://www.geocities.com/guruvalah:2005) antara lain : sikap mental, pendidikan, ketrampilan, manajemen kepemimpinan, tingkat penghasilan, gaji dan kesehatan, jaminan sosial, iklim kerja, sarana prasarana, tekhnologi dan kesempatan berprestasi.
Bertolak dari para ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kinerja guru atau prestasi kerja (performance) adalah hasil yang dicapai oleh guru dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan serta waktu dengan output yang dihasilkan tercermin baik kuantitas maupun kualitasnya.
E. Penilaian Kinerja Guru
Tugas manajer (kepala sekolah) terhadap guru salah satunya adalah melakukan penilaian atas kinerjanya. Penilaian ini dilaksanakan untuk mengetahui kinerja yang telah dicapai oleh guru. Apakah kinerja yang dicapai setiap guru baik, sedang atau kurang. Penilaian ini penting bagi setiap guru dan berguna bagi sekolah dalam menetapkan kegiatannya.
Dengan penilain berarti guru mendapat perhatian dari atasannya sehinga dapat mendorong mereka untuk bersemangat bekerja. Tentu saja penilaian ini harus dilakukan secara objektif dan jujur serta ada tindak lanjutnya.Tindak lanjut penilaian ini guru memungkinkan untuk memperoleh imbalan jasa dari sekolah seperti memperoleh kenaikan jabatan seperti wakil sekolah, Pembimbing OSIS atau mungkin modal untuk mendapatkan kenaikan pangkat dengan sistem kredit.
Penilaian kinerja ini merupakan alat yang berguna tidak hanya untuk mengevaluasi kerja dari para guru, tetapi juga untuk mengembangkan dan memotivasi kalangan guru. Sejalan dengan itu Hasibuan (2001:86) berpendapat Penilaian prestasi adalah kegiatan manajer untuk mengevaluasi perilaku prestasi kerja karyawan serta menetapkan kebijaksanaan selanjutnya.
Dalam penilaian kinerja tidak hanya semata-mata menilai hasil fisik, tetapi pelaksanaan pekerjaan secara keseluruhan yang menyangkut berbagai bidang seperti kemampuan, kerajinan, disiplin, hubungan kerja atau hal-hal khusus sesuai bidang tugasnya semuanya layak untuk dinilai.
Unsur prestasi karyawan yang dinilai oleh setiap organisasi tidaklah selalu sama, tetapi pada dasarnya unsur-unsur yang dinilai itu mencangkup seperti hal-hal ditersebut. Demikian juga untuk menilai kinerja guru, unsur-unsur yang telah dipaparkan dapat digunakan oleh kepala sekolah untuk melakukan penilaian namun tentu saja berkaitan dengan profesinya sebagai guru dengan tugas utamanya sebagai pengajar.
Dalam melaksanakan tugasnya, guru tidak berada dalam lingkungan yang kosong. Ia bagian dari sebuah mesin besar pendidikan nasional, dan karena itu dia terikat pada rambu-rambu yang telah ditetapkan secara nasional mengenai apa yang mesti dilakukannya. Hal seperti biasa dimanapun, namun dalam konteks profesionalisme guru dimana mengajar dianggap sebagai pekerjaan profesional, maka guru dituntut untuk profesional dalam melaksanakan tugasnya.
Sehubungan dengan uraian tersebut maka kinerja guru yang diukur dalam penelitian ini merupakan penilaian terhadap guru yang menyangkut tugasnya sebagai pengajar dan penilaian kepala sekolah yang menyangkut tentang kepemimpinanya.